Menjadi Pendaki Kehidupan

Wednesday, February 11, 2015

Menjadi Pendaki Kehidupan - Banyak dari kita, khususnya anak muda pasti pernah menyempatkan diri untuk untuk berlibur dari aktifitas rutin yang dijalani. Dan salah satu yang menjadi kegiatan untuk mengisi liburan itu adalah dengan hiking atau mendaki gunung. Tahukah kamu bahwa kehidupan itu ibarat mendaki gunung? Yah, dalam buku Adversity Quotient karya Paul G Stoltz, manusia terbagi menjadi tiga tipe pejuang yang menaiki suatu pendakian. Ibarat puncak gunung adalah impian yang kita taklukkan, tiga tipe orang itu adalah quitters, campers, dan climbers.


Seorang quitters adalah mereka yang selalu akan memandang sebuah gunung dari jauh dan memutuskan untuk tidak akan pernah mencobanya. Atau, setelah sekali mencobanya dan pada waktu itu gagal, mereka memutuskan untuk pulang dan tidak kembali. Tentu saja mereka tidak sampai kepada tujuan mereka karena mereka hanya memandang puncak gunung dari kejauhan. Hal ini terjadi karena bisa jadi mereka merasa bahwa naik gunung itu berbahaya, angker, dan lain sebagainya hingga membuat mereka tidak jadi mendaki.

Bagaimana dengan campers? Mereka adalah orang-orang yang ketika sudah berjalan cukup jauh sampai di puncak kemudian berkata, ”Oke, saya sudah berjalan cukup jauh dan sepertinya kita berhenti sampai disini saja. Disini pemandangannya juga oke kok!” Seorang camper adalah orang yang merasa bahwa perjuangannya sudah cukup besar, susah payah, dan kelelahan untuk bisa melanjutkan hingga puncak tertinggi di gunung itu.

Lalu, climbers sendiri seperti apa? Sesungguhnya manusia sejati adalah mereka yang semestinya menjadi climber. Yah, idealnya dalah seorang pendaki gunung yang memang sudah bulat ingin sekali menaklukkan puncak gunung yang didakinya. Seorang climber, tentu saja pasti akan mengalami berbagai macam cobaan dan rintangan saat mencoba untuk menaklukkan puncaknya. Namun, seorang climber atau pendaki akan tahu bahwa ketika memandang puncak gunung dari bawah saja indah, sudah pasti lebih indah ketika kita ada di puncaknya.

Dalam buku Studentpreneur Guidebook karya Arry Rahmawan juga, saya menemukan hikmah dari seorang pendaki kehidupan yang baik. Kita semua tentu akan terus dan akan selalu belajar untuk menjadi seorang pendaki yang hebat dalam setiap perjalanan hidup. Adapun pelajaran yang dapat kita ambil untuk menjadi seorang pendaki kehidupan yang baik adalah:
  1. Know The Mountain. Sebelum mendaki, kita tentu harus mempelajari terlebih dahlu bagaimana medan gunung tersebut, berapa ketinggiannya, apa saja yang perlu disiapkan, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan kehidupan, maka cobalah untuk melihat impian kita dengan sangat jelas. Impian ini nantinya akan sangat kuat mendorong kita untuk bisa terus naik dan mengejar berbagai impian itu hingga kita sampai pada puncaknya. Masalahnya seiring dengan pilihan-pilihan hidup yang kita ambil, kita sering lupa dengan berbagai impian yang kita kejar. Maka, saya sangat setuju dengan film 5cm. Taruh impian itu 5cm di depan mata kita, agar tidak pernah lepas dan tidak pernah lupa.
  2. Memperbanyak Persiapan. Layaknya seseorang yang ingin mendaki sebuah gunung, persiapan itu sangatlah penting. Jika ada yang tertinggal, kita bisa jadi tersesat bahkan nyawapun bisa menjadi taruhannya. Sama seperti kehidupan, bekal apakah yang sudah disiapkan? Ada yang bilang, bahwa hidup itu yang penting dihadapi secara mengalir saja. Jika kita berpikir seperti ini pada jaman dulu, mungkin masih baik-baik saja. Namun, bagaimana pada zaman seperti ini kita masih berpikir seperti itu? Tentu kita akan menjadi manusia yang gagal dalam kehidupan. Kita akan didahului oleh manusia-manusia yang memilik bekal atau persiapan yang matang dalam kehidupannya. Lalu, apa saja persiapan atau bekal itu? Persiapan itu tentu saja bisa berupa pendidikan, ilmu pengetahuan, sikap atau moral yang baik, skill yang dikuasai, dan lain sebagainya yang mampu menunjang kehidupan menjadi lebih baik.
  3. Get The Right Friend. Naik gunung itu asyiknya rame-rame kan? Yah, tentu jika dikaitkan dalam kehidupan, kita tidak akan bisa hidup tanpa orang lain. Inilah juga alasan mengapa manusia disebut dengan makhluk sosial. Dalam kehidupan, memiliki teman adalah penting karena dengan temanlah hidup kita menjadi lebih berwarna. Tentu saja hal ini tidak lepas dari teman hidup yang seterusnya insya Allah akan menjadi jodoh hidup dan mati. Oleh karena itu, pilihlah teman yang benar-benar membuat kamu nyaman dan bisa membuat kamu selalu berada di jalan kebaikan. Ingat, lingkungan adalah faktor terbesar yang mempengaruhi sikap kamu dalam menjalani hidup. Bahkan, ada orang bijak yang berkata bahwa “Saya adalah teman-teman saya.” Artinya, apa yang kita sukai, seperti apa perilaku kita, tentu tak jauh dari apa yang teman-teman kita sukai dan perilaku mereka pada umumnya.
  4. Jika Capek, Istirahat! Ketika mendaki gunung dalam bentuk rombongan, pasti ketua rombongan akan berkata, ”Bagi yang capek atau tidak kuat, tidak perlu gengsi. Bilang saja kalau perlu istirahat.” Kadang kalau dalam kelompok seperti itu, kita akan gengsi untuk mengakui kondisi kita yang sebenarnya. Sehingga, akibatnya jika dipakasakan kita akan mengalami dehidrasi misalnya. Sama halnya dengan kehidupan, adakalanya kita merasa stres dalam mengarungi hidup. Jika hal ini sudah terjadi, istirahatlah. Biasanya banyak orang yang jika ditanya bagaimana keadaannya, mereka akan menjawab bahwa mereka baik-baik saja. Padahal, tidak ada salahnya jika mereka mengatakan bahwa mereka sebenarnya sedang berada dalam keadaan kurang baik. Jika sudah begitu, istirahatlah. Kondisi yang kurang baik bukan berarti kondisi itu buruk, melainkan kondisi itu adalah kondisi normal yang seharusnya bisa diisi dengan beristirahat. Beristirahat, bukan berarti kita menyerah, melainkan inilah kesempatan untuk kita mencari jalan keluar. Tak jarang berkata jujur kepada orang lain, akan mengantarkan kita kepada pintu-pintu solusi sehingga membuat kehidupan akan menjadi lebih baik.

Post a Comment

Just A Note. By Suryani Palamui.